Senin, 26 Januari 2015

Filosofi Padi


Padi di sawah yang mendekati masa panen akan terlihat merunduk (tidak tegak) karena beban bulir padi yang berisi. Dengan kata lain, padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Dalam pergaulan hidup, ketika seseorang kebetulan dianugerahi Allah kepandaian/ilmu yang mumpuni, kekayaaan, dan pangkat kedudukan, hendaklah meniru padi, yaitu bisa bersikap rendah hati. Rendah hati berarti bukan sombong dan pongah memamerkan kepandaian atau ilmunya sehingga terdapat kecenderungan bahwa ia adalah yang paling pandai. Orang yang demikian akan selalu meremehkan yang lain dan sulit menghargai orang lain karena ia selalu merasa paling unggul di dunia ini. Sikap demikian itu disebut sikap yangadigang, adigung, adiguna, yang kurang lebih berarti mentang-mentang kaya, mentang-mentang berkuasa, mentang-mentang kuat.  Rendah hati di dalam filosofi Jawa adalah sikap andhap asor, yaitu sikap merendah tanpa menghilangkan wibawa.
Ketika berilmu tinggi dan mumpuni hendaklah seseorang tidak sombong (kumalungkung) atau bahkan membodohi serta mencederai orang lain. Kekayaan hendaklah tidak menjadikan seseorang pelit dan serakah. Ibarat minum air samudra semakin lama akan semakin terasa haus, tanpa batas. Sudah ada beberapa peristiwa di tanah air yang melambangkan sikap seperti ini. Tapi, toh akhirnya terlihat betapa serakah dan melanggar aturan moral dan agama. Begitu pula dengan masalah pangkat dan kedudukan. Bila Allah menganugerahkan derajat tinggi dengan menduduki suatu jabatan penting, hendaklah seseorang tidak menyalahgunakannya. Justru bersikaplah yang amanah dan kembalikanlah hak-hak serta manfaat dari perolehan kedudukan tersebut kepada kemashlahatan orang banyak. Menjadi pemimpin hendaklah tidak memiliki sifat murka, lupa daratan, dll. Bila ingin dihormati maka menghormatilah.

Singkatnya, orang Jawa percaya pada pepatah: sapa kang ngasorake diri bakal kaunggulake, lan sapa kang nggunggulake diri bakal diasorake. Artinya barang siapa yang bisa bersikap rendah hati, maka dirinya termasuk pribadi yang diunggulkan. Sebaliknya, barang siapa yang selalu meunggul-unggulkan dirinya akhirnya akan mendapati kehinaan.


Sumber:
 http://filsafat.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar