Rabu, 26 November 2014

Positivisme Mewujudkan Masyarakat Cerdas Melalui Pendidikan




Sekilas tentang positivism
Positivisme diperkenalkan oleh Comte,  istilah positivisme  berasal dari kata “positif”. Positivisme pada dasarnya  adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu – satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman faktual. Dengan filsafat Comte mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia, sedangkan positif  diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.   Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni yang melampaui fenomena yang teramati.
Menurut Comte bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan. Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. Empirisme masih menerima adnya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, sedangkan positivisme menolaknya sama sekali. Comte menganggap  bahwa pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi (Hardiman, F. Budi, 2011)
Kaum positivism percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan metode- metode penelitian empiris yang dapat digunakan untuk menemukan hukum-hukumnya yang sudah menyebar di lingkungan intelektual. Akan tetapi kebanyakan kelompok positivis berasal dari kalangan orang yang progresif, yang telah membuang tradisi irasional dan memperbarui masyarakat menurut hukum alam sehingga menjadi lebih rasional. Perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah merupkan puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui ilmu-ilmu lainnya yang sudah terlalui sebelumnya



Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai empat cirri, yaitu:
1.      Metode yang mengarahkan pada fakta-fakta
2.      Metode yang mengarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup
3.      Metode yang berusaha ke arah kepastian
4.      Metode yang berusaha kea rah kecermatan

Positivisme untuk masyarakat cerdas
Pandangan dan penemuan ilmiah manusia mengenai alam jagat raya ini telah mendorong lahirnya filsafat pendidikan berbasis positivism. Pendidikan di arahkan pada suatu tujuan yang realistik. Pengembangan kurikulum ditekankan pada suatu proses penciptaan anak didik yang rasional dan empiris. Masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan tidak bergantung pada mitos dan berbagai legenda karena semua itu akan membuat masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti dan rasional. Oleh karena itu masyarakat harus melihat pengetahuan dengan memperdalam pendidikan empiris dan realistic.
Positivisme ayang telah diperkenalkan oleh Auguste Comde berpendangan bahwa pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Positivisme selalu mempertanyakan hakikat benda-benda ayau penyebab yang sebenarnya, yang bagi positivism tidak mempunyai arti apa-apa. Positivism mengutamakan pengalaman. (salahudi.2011:74)
Namun jika kita melihat pada realita yang ada, sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini. Sebab nilai tersebut diberikan tanpa melihat kesanggupan peserta didik.
 Meskipun sudah ada  sekolah yang menerapkan pada tingkatan sekolah menengah yang melaporkan perkembangan belajar peserta didik menambahkan laporan secara deskriptif dari setiap mata pelajaran yang diikuti, banyak orang tua yang hanya melihat perkembangan belajar siswa berdasarkan nilai yang diperoleh peserta didik. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) berupa batas nilai minimal yang harus diperoleh peserta didik yang menjadi acuan bagi peserta didik tingkatan sekolah menengah sebagai presentasi hasil belajar siswa yang mencapai ketuntasan belajar pada tiap  tingkatan kelas yang bukan menjadi satu-satunya solusi  bagi peserta didik dalam melewati setiap tingkatan pendidikan sekolah dasar dan menengah. Pelaksanaan ujian nasional yang kerap sering terjadi bagaimana penyamarataan pelaksanaaan terhadap daerah terpencil yang kondisi pendidikan berbeda dengan kota besar. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah bagaimana melakukan pemetaan pendidikan dan mengevaluasi pelkasanaan ujian nasional terhadap peserta didik di Indonesia. 
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pada dasarnya pendidikan  adalah manifestasi kehidupan. Pendidikan yang baik  adalah pendidikan  yang menjunjung  pemerdekaan  pada tiap anak didiknya. Proses yang dilakukan  dalam pendidikan  bukan berarti harus memandang atau berpandangan anak didik itu sebagai seseorang yang tidak berdaya, karena hal itulah yang akan mengasingkan kita dari keterasingan manusia sendiri. Kuatnya pengaruh filasafat positivisme dalam pendidikan dalam kenyataannya mempengaruhi pandangan pendidikan terhadap masyarakat. Metode yang dikembangkan pendidikan mewarisi positivisme seperti obyetivitas, empiris, tidak memihak, rasional dan bebas nilai juga mempengaruhi pemikiran tentang pendidikan.

Filsafat pendidikan positivism akan membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan faktor- faktor spiritual, social, ekonomi, budaya, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang sempurna baik lahir maupun batinnya.

Pertanyaan yang Sering Muncul Saat Belajar Filsafat



Ketika kita belajar filsafat kita dituntut untuk banyak berfikir mengenai filosofi kejadian disekitar kita, pertanyaan -pertanyaan yang mungkin akan muncul

Pertanyaan Seputar Filsafat.
1.      Menurut anda, seberapa penting belajar filsafat dalamkehidupan sehari-hari terutama dalam bidang pendidikan?
2.      Apakah ada etika dalam berfilsafat? Jika ada, mohon jelaskan!
3.      Apakah dalam berfilsafat harus menggunakan metode khusus? Jelaskan.
4.      Apakah semua persoalan dapat diselesaikan dengan berfilsafat?
5.      Tokoh filsafat, Descrates mengemukakan istilah metode keraguan, apa fungsi metode keraguan dalam berfilsafat?
6.      Apakah benar orang berfilsafat akan berfikifr secara bijaksana? Mohon penjelasan
7.      Bagaimana bentuk penerapan filsafat dalam bidang matematika?
8.      Bagaimana tanggapan anda, mengenai kelompok wina yang berupaya mempersatuakan semua ilmu di dalam suatu bahasa ilmiah yang bersifat universal jika dikaitkan dengan pendidikan Indonesia saat ini?
9.      Apa aliran filsafat yang cocok diterapkan dalam bidang pendidikan Indonesia saat ini?

10.  Bagaimana cara mewujudkan pendidikan yang ideal dengan berfilsafat?